Romantisme dalam Keteguhan Gadis Dayak

Mei 02, 2014



[Resensi] BETANG: Cinta yang Tumbuh dalam Diam

Penulis    : Shabrina WS
Genre       : Novel Islam
Penerbit   : Quanta (PT. Elex Media Komputindo)
Halaman  : ix + 177
ISBN         : 978-602-02-2389-6
Tahun       : 2013

 Saat pertama kali melihat cover novel ini di-publish sang penulis di Facebook, saya tahu bahwa suatu saat, entah bagaimana caranya, saya harus memilikinya. Mengapa?

Alasan pertama, saya percaya dengan kualitas tulisan Mbak Shabrina WS. Keindahan pilihan diksi dalam tulisan-tulisannya, acapkali menjadi perbincangan di antara teman-teman komunitas kepenulisan. Tak hanya indah, tapi juga selalu ada ‘kekuatan’ kebaikan dalam setiap bagiannya.

Alasan kedua, memilih novel dengan judul puitis ini, bagi saya sama saja dengan bersiap menggelar kenangan masa kecil di depan mata. Bagaimana tidak, setting novel ini adalah suatu tempat di mana saya menghabiskan masa kecil hingga praremaja saya: Kalimantan Tengah, khususnya Palangkaraya. Membukai halaman demi halaman, seperti mengendusi aroma nostalgia.

Betang, bertutur tentang Danum, gadis belia suku Dayak yang tinggal di rumah betang nun di pelosok Buntok. Diasuh dalam budaya dan kehangatan rumah panjang itu, membuat hati Danum terpatri selamanya di rumah betang. Tak pernah terlintas dalam benaknya untuk pergi, seperti yang dilakukan penghuni lainnya. Bagi Danum, betang adalah segalanya, apalagi ada Kai (kakek) yang telah menjadi orang tua baginya sejak bayi, yang merawatnya dengan sempurna bersama mendiang Ini (nenek- kenapa tidak pakai istilah 'tambi', ya?).

Pun ketika satu jalan menuju impian masa belianya terbentang: panggilan masuk pelatda atlet dayung. Olahraga yang pernah ia geluti dengan penuh semangat, bersama Dehen, bocah lelaki masa kecilnya. Namun seiring waktu, Danum justru merasa gamang. Ia bagai di antara persimpangan yang sungguh membuat pusing: antara menggapai cita yang mulai samar, atau tetap tinggal bersama Kai yang dicintainya sepenuh hati.

Pergulatan batin Danum terus berkelindan, ketika satu demi satu peristiwa tak terduga silih berganti menyapa hidupnya. Dehen dan sebuncah rasa tak biasa yang tersimpan rapi di sudut hati, impian yang nyaris tak ia inginkan lagi, Sallie-gadis dari balik sosok Dehen, kematian Kai, sampai kemunculan lelaki yang menyebut dirinya "ayah". Dengan kebeliaannya, sanggupkah Danum menjalani semuanya dengan ikhlas, sebagai takdir Ilahi yang wajib ia yakini?

Novel ini dibungkus manis dengan romantisme yang santun. Tak satupun adegan atau ungkapan vulgar di dalamnya. Berbagai nilai keislaman diserak dengan pas dalam dialog maupun narasinya. Santai, tak menggurui, tapi tetap mengena. Seperti nasehat Arba (abang Danum), "Itu bukan kata aku, tapi kata Al Qur'an" (hal.83). Atau, betapa sejuknya petuah Kai, "Syukur akan membuat kita merasa cukup" (hal.51).

Setting serta temanya yang unik, menjadi satu kekuatan tersendiri. Menghadirkan tanah Borneo dengan seluk beluk tempat dan budayanya, serta keseharian atlet dayung dengan segala perniknya, jelas bukan perkara mudah, mengingat penulis belum pernah mengalaminya sendiri. Itulah kelebihan Shabrina WS. Ia berani menjelajah tempat-tempat asing, dengan serangkaian riset yang pastinya tidak main-main. Dan, voila, ia berhasil melanglangkan imaji pembaca ke alam perawan Kalimantan yang eksotik.

Sedikit banyak istilah tentang bagian betang, rumah panjang khas Kalimantan ini, diperkenalkan. Mulai dari tangga, teras, lorong panjang, bilik yang ditempati tiap keluarga, hingga batang (dermaga kecil berupa gelondongan kayu yang diikat jadi satu). Juga sedikit diceritakan mengenai budaya suku Dayak, semisal upacara bapapai dalam pernikahan adat, juga upacara tiwah.

Pun kisah kearifan Kai dalam menjalani hari, termasuk caranya memperlakukan alam, patut diacungi jempol. Pembaca tak hanya disuguhi imaji eksotisme ranah Dayak, tapi juga dibagi pengetahuan tentang budidaya pohon ulin. Mulai dari mengumpulkan buah di hutan, sampai menyusuri sungai dengan jukung, untuk mencari lahan kritis yang akan ditanami bibit ulin (hal. 31-32).

Sayang, setting betang yang menjadi judul novel ini, justru kurang tergarap maksimal. Saya masih harus berusaha membayangkan, seperti apa real-nya betang dan isinya. Maksud saya, semestinya, saya langsung bisa menjelmakan betang itu tanpa berpikir keras, atau membalik kembali istilah yang telah disebutkan sebelumnya. Bentuk fisik ‘betang’ itu belum bisa mewujud dengan gamblang. Masih terkesan ‘menempelkan’ pengetahuan penulis secara apa adanya. Belum terasa ruh betang, suasana betang dan para penghuninya.

Selain itu, saya jadi bertanya-tanya, seperti apakah dahulu ketika rumah betang masih ramai penghuninya? Bagaimana suasana sehari-harinya, ada berapa keluarga di sana, dan bagaimana para penghuni yang biasanya masih satu marga itu berinteraksi dalam balutan budaya Dayak? Apa pekerjaan mereka, seberapa jauh mereka dari kota, dan apakah tak ada kampung di dekat sana? Seperti apakah interaksi keluarga Danum dengan orang kampung? Lalu, setahu saya mayoritas penduduk Kalimantan Tengah penganut Kristen Protestan, mengapa bisa ada satu keluarga yang muslim? Sejak kapan?

Penyebutan "kai" dan "ini" yang adakalanya diganti dengan kakek dan nenek, agak mengganggu aura Dayak yang ingin ditonjolkan.

Satu hal lagi, tentang keunikan bumi Isen Mulang itu. Selain anggrek dan pohon ulin, akan lebih lengkap jika dilukiskan, bagaimana air sungai yang begitu dicintai Danum, berwarna jernih cokelat-merah, seperti warna teh yang pekat, dengan pasir putih lembut sebagai dasarnya.
Juga tentang tanah, yang tak hanya berupa lahan gambut – setahu saya, di sana tanahnya bukan tanah merah sepert di Jawa, melainkan hamparan pasir putih yang menyilaukan.

Begitu pula bisnis Arba yang berupa kerajinan khas Dayak, bisa diperkaya dengan kerajinan dari karet (biasanya berupa miniatur perahu dengan pasukan Dayak di atasnya), aneka aksesoris dari anyaman rotan, dan lainnya.

Selebihnya, membaca novel ini, seperti menikmati sebongkah cotton candy merah jambu. Sedikit demi sedikit, lembut melumer di lidah, dan manisnya tetap terasa bahkan setelah arum manisnya tak bersisa. Ciri khas tulisan Shabrina, selalu manis. Jalinan ceritanya, meski terkesan datar dan tak ada konflik yang meletup atau mengejutkan, bahkan cenderung predictable, tertutupi oleh ending yang bahagia. Sesuai harapan pembaca.

Sosok Danum, walaupun tak begitu kuat karakternya secara fisik – sepertinya Danum dapat menjelma gadis manapun – berhasil digambarkan sebagai muslimah muda yang pantas jadi teladan. Pun dengan Dehen, yang penggambarannya justru terasa 'kalah pamor' dari Arba sang abang.

Menebar hikmah tanpa menggurui. Itulah kerennya novel ini. Beautiful and powerful quotes di tiap bab, tak hanya di bawah judul bab, tapi hampir di seluruh bagian, menjadi penguat pesan cerita. Percaya atau tidak, saya selalu punya kutipan favorit, yang seringkali masih teringat dan muncul menjadi motivator dalam beberapa babak kehidupan saya. Mbak Shabrina memang jago membuat kutipan.

Tengok saja kata Arba, "Mimpi boleh setinggi yang kau bisa, asal kau tak lupa bangun untuk mewujudkannya" (hal.36).

Akhirnya, saya menutup lembar terakhir dengan senyum. Bahagia, karena bisa membaca karya yang bagus. Terima kasih kepada penulis, yang telah menghadirkan tanah masa kecil saya dalam kisah yang ciamik.

Jangan lupa, kalau kelak novel ini cetak ulang, buatlah cover-nya sedikit lebih nge-jreng warnanya. Soft, bukan berarti warna yang pudar, kan?

Buat Anda yang belum baca, bolehlah cari novel terbitan Quanta (Elexmedia) ini di toko buku. Insya Allah, recommended!

*Resensi ini diikutkan dalam Lomba Resensi Buku Be A Writer dan Penerbit Quanta Books

You Might Also Like

0 komentar