Kompetisi: Bersiap Menang, Berani Kalah
Oktober 06, 2022Minggu pagi, 2 Oktober 2022.
Saya sedang menyiapkan sarapan untuk si nomor dua yang akan balik ke kos di Malang, ketika kabar itu datang. Sementara anak saya itu sedang scroll-scroll ponselnya.
"Bun, kata teman Kakak, ada kerusuhan sepakbola di Malang. Yang meninggal 150-an orang," ujarnya tiba-tiba.
Sontak saya terpaku. Segera mencari kebenaran berita. Innalilahi wa inna ilaihi roji'uun. Berita itu benar adanya. Malang berduka, Indonesia terluka. Saya langsung meminta anak saya untuk menjadwal ulang kepulangannya ke Malang. Ngeriii.
Saya nggak tahu bagaimana kejadian persisnya, atau siapa yang sebenarnya bertanggung jawab. Tapi sejak dulu, entah kenapa yang terekam di benak saya tuh, pertandingan sepakbola di Indonesia itu auranya 'menyeramkan'. Image-nya tuh 'rusuh'. Menang umuk, kalah ngamuk. Heuu.
Apa yang salah, ya? Apakah kita masih harus belajar banyak tentang sportivitas, legowo, dan semacamnya? Sepertinya, iya, ya?
Berkompetisi: Bersiap Menang dan Berani Kalah
Saya mau cerita, nih. Kebetulan dua anak terbesar saya, sempat mengikuti beberapa kompetisi semasa sekolah. Mulai dari lomba TIK, fotografi, desain, dan yang terbanyak di bidang seni musik. Memang bukan di bidang olahraga, tapi saya pikir, sama-sama harus menjunjung tinggi sportivitas. Iya nggak, sih?
Jadi, ketika memutuskan untuk mengikuti kompetisi, saya dan suami berusaha mendukung dan menyemangati, serta memfasilitasi sebaik mungkin. Saya juga sering mengamati bagaimana 'kerasnya' suami saya, beliau seorang guru musik, melatih murid-muridnya. Semacam yang "ikut lomba, maka targetnya juara". So, harus berupaya semaksimal mungkin.
Tapi begitu lomba dimulai, kami berubah menjadi pasukan pompom. Pemandu sorak. Berlatih maksimal sudah, saatnya beraksi dengan happy. Nikmati acaranya, simak bagaimana penampilan rival.
Nah, saat menunggu hasil lomba, biasanya jadi saat-saat memberi wejangan. Bahwa hasil lomba bisa tergantung pada banyak faktor. Apalagi lomba yang berkaitan dengan seni, pastinya masalah selera juri sangat berpengaruh, kan.
Ketika hasil lomba keluar, rasanya campur aduk. Jika menjadi pemenang, apresiasi secukupnya, tidak berlarut-larut dalam euforia.
Sedangkan kalau hasilnya tidak sesuai harapan, nah, inilah waktu menepuk bahu mereka. Tenangkan, berikan apresiasi atas kerja kerasnya, dan ajak untuk menerima hasilnya, meskipun mengecewakan. Tidak perlu mencari kambing hitam, apalagi menyerang rival.
"Namanya juga kompetisi, pasti ada yang menang, ada yang kalah. Kalah bukan berarti pasti jelek."
Fyi, beberapa kali saat anak-anak menjuarai kompetisi band, ada saja mulut julid yang tebar omongan nggak enak ke mana-mana. Membuat remaja-remaja itu emosi. Syukurlah bisa diredam, dengan kalimat sakti, "Apa pun yang kamu lakukan, pasti akan ada orang yang nggak suka."
Gitu aja sih petuah kami ke anak-anak. Alhamdulillah, selama ini sih manjur. Baik bagi si anak, maupun kami orang tuanya.
Menanamkan Sikap Menghargai Prestasi
Nah, sebagai penulis buku anak, saya juga berusaha membantu anak-anak yang lebih kecil memahami masalah menang - kalah ini. Tentu saja lewat bacaan anak. Tahun lalu, saya menulis serial buku yang terdiri dari 18 judul, bertema 18 karakter bangsa.
Tahukah Teman-teman, ternyata sikap sportif dan menghargai prestasi itu sudah masuk ranah pendidikan nasional? Yup, nilai 'menghargai prestasi' adalah salah satu dari 18 nilai yang diharapkan dikuasai oleh anak Indonesia.
Cerita saya itu berkisah tentang seorang anak laki-laki yang baru pertama kali mengikuti lomba menyanyi. Ia berlatih keras dan cukup percaya diri. Namun, ternyata dia belum berhasil. Saya ceritakan, bagaimana dia meng-handle kesedihannya, dan bagaimana ia harus berbesar hati memberi ucapan selamat pada rivalnya.
Saat ini, buku tersebut sedang proses dinilaikan ke Puskurbuk. Semoga buku ini lolos penilaian dan bisa dicetak massal, sehingga banyak anak bisa membaca cerita tentang sportivitas ini. Doakan, yaa, Teman-teman.
19 komentar
Masya Allah benar banget, Mbak Lia. Poin penting untuk menjadikan anak-anak pribadi yang tangguh dan survive dalam menjalani kehidupan di dunia ini yang kadang penuh dengan kompetisi. Siap menang dan berani untuk kalah. That's the point!
BalasHapusIya, Mbak. Begitu terjun berkompetisi, harus siap dengan segala risikonya. Dan pilihannya hanya dua: menang atau kalah. Jadi memang harus nyiapin mental. Makasih sdh mampir ya Mbak. :)
HapusSportivitas memang tidak hanya perlu ditekanjan kpd pemain ya mba..penonton dan suporter juga harus bisa menegakkannya. Hal ini rupanya masih jadi PR besar buat kita semua..
BalasHapusBetuuul. Sportivitias di segala bidang kehidupan, ya kan.
HapusSetuju, Mbak, sikap sportivitas memang harus ditanamkan sejak dini. Anak-anak diajarkan untuk legowo menerima biar mental mereka kuat di kemudian hari.
BalasHapusBetul, Mbak. Semoga ke depannya, sportivitas bukan sekadar jargon, tapi bisa diamalkan oleh kita semua. :)
HapusMemang benar, sportivitas harus ditanamkan sejak anak-anak. Karena dalam setiap lomba pasti ada menang dan ada kalah. Tidak harus selalu menang, yang penting adalah usahanya sekali-sekali anak juga perlu merasakan kecewa apabila kalah, namun tidak berlarut-larut dan harus kembali semangat.
BalasHapusSetuju, Mbak. Memang berat, tapi harus dilatih ya.
HapusKekecewaan karena kalah, kadang dibutuhkan menjadi pembelajaran anak kita. Jadi ketika menemui kekalahan saat mereka tumbuh dewasa, akan menerima dengan hati ikhlas. Nggak menyalahkan pihak lain, dan legowo
BalasHapusBetul banget. Legowo dan ikhlas, susah dilakoni tapi bukan mustahil ya kan. Biar hidup ayem.
HapusSemoga bukunya lancar, Mbak Lia.
BalasHapusBenar sekali sejak dini harus ditanamkan sikap sportif ke anak-anak. Ada kalanya kalah, ada waktunya menang
Nanti kalo bukunya udah terbit kasih tau ya mbak aku mau PO nih. Kadang2 anak memang hafua dihadapkan sgn kegagalan ya mbak supaya tangguh. Insyaallah mereka bisa cepet bangkit dan belajar dr kekalahan tsb
BalasHapusHihi sayangnya ini buku nonreguler nih, Mbak. Jadi nggak ada di toko buku. Semoga nanti ada e-booknya.
HapusBagian yang paling sedih adalah, misal kita sudah menerima kekalahan namun orang lain malah mengompori dan menghasut supaya negatif thinking ya mbak
BalasHapusNaah bener banget. Nyeseknya melebihi kekalahan itu sendiri.
HapusIya Mbak Lia sifat suportif ini yang harus kita tanamkan sejak dini untuk anak-anak jangan sampai terjadi kerusuhan dan pertengkaran karena tidak bisa menerima kekalahan
BalasHapusBener banget Teh. Setuju.
HapusPeer orangtua juga nih Mba untuk berikan anak pemahaman tentang indahnya berproses jadi tidak selalu menjadikan menang sebagai tujuan
BalasHapusIya, betul Mbak Nia. Semoga kita dimampukan mendidik anak-anak dgn baik ya.
Hapus