Penulis Buku Anak dan Anak-anak yang Tak Pernah Melihat Buku Anak

Oktober 20, 2018

(Kilas balik Kelas Inspirasi Grobogan 2017)


Pagi itu di sebuah kelas empat.
"Siapa yang suka membaca buku cerita?"
Semua diam.
"Kalau buku cerita seperti ini, sudah pernah lihat?"
Geleng-geleng kepala. Wajah-wajah bingung, heran, terpana, ...
"Mau dibacakan buku cerita?"
Kali ini, wajah-wajah itu berekspresi takjub, penuh semangat, dan antusias.
"Mau?"
"MAUUUU ... !"

Itulah sepenggal episode dari Kelas Inspirasi Grobogan yang saya ikuti, Sabtu 22 April 2017 lalu. Pengalaman yang membuat saya tercengang, betapa masih banyak anak-anak di Indonesia yang belum tersentuh bahan bacaan. Tak usah sebut mereka yang jauh di bagian timur Indonesia. Anak-anak ini bahkan ada di sekitar saya, di tanah Jawa!

Saya dan Kelas Inspirasi #1 Grobogan

Kelas Inspirasi yang saya ikuti ini, merupakan yang pertama kali diadakan di  Kab. Grobogan. Begitu tahu ada kegiatan ini, saya langsung daftar. Ini yang sudah lama saya tunggu! Satu kegiatan positif yang brand new di Grobogan. 

Sangat berharap, bisa jadi bagian -meskipun keciiil- dari sebuah gerakan perubahan di kota kelahiran suami dan anak-anak saya ini.

Tentang Kelas Inspirasi, bisa dilihat di sini, ya.

Saya bertugas 'mengajar' di kelas 4, 2, dan 6, di SD Negeri 3 Danyang, Kec. Purwodadi, Kab. Grobogan. SD ini masih terbilang berlokasi di kota, meski dekat sawah dan jalan kecil. Gedung relatif masih oke, namum jumlah muridnya sangat sedikit. Total hanya ada 64 murid, mulai dari kelas 2 - 6. Tahun ini, mereka tidak mendapat murid baru di kelas 1. Kalah dengan SD baru yang lebih mentereng dan lebih 'ngota'. Menyedihkan. :(

SD Negeri 3 Danyang, zona inspirasi kali ini. 


Halo, Saya Penulis Buku Cerita!

Dan mereka pun tercengang.
Heran, atau merasa asing kali, ya? Hehe. Saya sudah bisa prediksi sih, reaksi itu. Makanya, saya semangat banget pengin berbagi cerita. Tujuan saya, bukan ingin menjadikan profesi saya cita-cita mereka. Saya hanya ingin mereka sadar, ada harta karun bernama buku, bacaan, sumber ilmu, yang harus mereka manfaatkan.

Kelas 4 tadi, sangat semangat menyimak penjelasan saya. Tampak sangat tertarik. Saya ajak salah satu murid untuk 'duet' membaca picbook saya. Seru sekali!


Mau baca yang mana?
Bu Lia dan Santi, murid kelas 4, duet mendongeng di depan kelas

Lalu, saya ajak mereka membuktikan, mereka juga bisa menulis cerita. Saya minta mereka membuat cerita sederhana, dengan panduan gambar. Trik ini saya dapat dari Mbak Nurhayati Pujiastuti. Terima kasih, Mbak Nur.

Saya harap, mereka bisa termotivasi, tercerahkan, bahwa mereka juga bisa melakukan hal yang mungkin selama ini benar-benar beyond their mind. Sebagai penutup, saya putarkan slideshow tentang proses penerbitan buku. Tak lupa, saya selipkan pesan-pesan untuk terus bercita-cita, belajar, dan berusaha.


Slide show. Ini, lho, pabrik buku.


Kelas Mini yang Lugu


Di kelas dua, ya Allaah, hanya ada 10 anak! Saya ajak mereka lesehan di bawah papan tulis. Saya tak berharap banyak di kelas ini. Mereka itu... terlihat sangat polos, lugu, manut... Rasanya cuma pengin bersenang-senang saja di situ!


Anak-anak kelas 2. "Aku mau baca sendiri!"

Saya bacakan beberapa cerita, dan mereka sangat menikmati. Entah saya 'kesurupan' apa, yang jelas sifat pemalu saya hilang seketika di hadapan anak-anak itu, hihihi. Saya bisa mendongeng dengan fasih dan heboh. Ilmu dari manaaa, coba? :D


Perubahan Jadwal

Yup, mendadak jadwal mengajar berubah. Ada relawan yang tak bisa hadir, jadi saya dapat kelas tambahan. Kelas 5. Ternyata, mereka juga luar biasa! Masih tabah menyambut ibu guru dadakan ini, hehe.

Di kelas 5, ada yang menatap saya dengan mata berbinar. Meski dia tetap tidak mau jadi penulis, hahaha. Nggak apa-apa. Saya bilang, "Apapun cita-citamu, gantungkan setinggi bintang. Jangan pernah malu. Jangan pernah ragu. Semua cita-citamu istimewa."


Semua cita-citamu istimewa. Karena kamu anak istimewa.


Di kelas 6, semua relawan terkesan dengan seorang anak laki-laki. Konon, anak itu seorang ABK. Kami nggak tahu persis, yang jelas memang terlihat beda. Di name tag, tertulis cita-citanya menjadi (tukang) bangunan. Teman-temannya senyum-senyum, sedikit geleng kepala.

"Hebat! Kamu nanti mau jadi orang yang membangun gedung tinggi, rumah bagus, sekolahan apik, ya to?" seru saya menyemangati. Berharap ia maupun teman sekelasnya, sedikit mendapat perspektif yang berbeda. Bahwa selalu ada hal positif dari hal yang dianggap remeh.

Seorang anak kelas 6 juga cerita, pernah merasa minder dan malu sekolah di situ. Ah, jangan malu, Nak. Kalau kalian terus yakin dan berusaha, kelak sekolah yang sunyi ini akan jadi kenangan indah.

"Bu Lia, dulu SD-nya lebih jelek. Bukan di Jawa, tapi di Kalimantan. Di dekat hutan. Dindingnya dari papan kayu. Jendelanya dari kawat. Lantainya semen. Tapi, sekarang Bu Lia bisa jadi penulis buku. Teman-teman Bu Lia juga banyak yang jadi orang hebat. Jadi, kalian juga pasti bisa jadi orang yang berguna, kelak!" cerita saya.


Bukan Saya, Tapi Mereka

Ya, merekalah yang menginspirasi. Bukan saya. Mereka kembali mengingatkan saya akan arti syukur, kesederhanaan, kepasrahan, apa adanya. Di tengah keterbatasan sarana dan SDM, mereka masih mau sekolah. Masih menggenggam harapan dan mimpi​, untuk kehidupan lebih baik.

Melihat mereka, seperti melihat saya ke belakang. Sekolah di tempat yang sederhana. Belajar dan berteman dengan apa adanya. Mengejar mobil perpusling. Jajan di kantin yang entahlah, kalau diingat sekarang. Tapi, semua terasa menyenangkan.


Lihat ekspresi ini. Bahagia itu sederhana, kan?

Saya yakin, anak-anak itu juga bahagia, kok. Kita saja, yang merasa 'dewasa' dan 'bijak', menilai mereka dengan iba serta prihatin. Padahal, hei, lihat senyum dan tawa lebar mereka! Kita salah, agaknya. :)

Semoga semua tercapai, Nak! Terima kasih sudah menjadi bagian cerita dalam hidup saya!




Ndanyangers, terima kasih untuk hari yang luar biasa ini!





 *Foto-foto oleh Mas Yan Perwira.




You Might Also Like

0 komentar