Me vs MRI: The Power of Dzikrullah
Oktober 04, 2014
Akhirnya, MRI Juga
Yap, setelah kembali menjalani fisioterapi untuk tulang
lumbal saya, akhirnya dokter merekomendasikan untuk melakukan MRI (Magnetic
Resonance Imaging). Suatu pemeriksaan mutakhir untuk mengetahui kondisi tulang
beserta isinya, dengan gelombang magnet. Menurut teman saya yang dokter rehab
medis, MRI adalah gold standar untuk mendiagnosis apakah pasien benar terkena
HNP atau tidak. Dan andai HNP, perlu dioperasi atau tidak. Begitu.
Sebetulnya, saya lega begitu diizinkan MRI. Jujur, selama
ini saya agak stress, hehehe. Kepikiran terus, sebenarnya saya ini kenapa.
Kalau sakit, kok ya saya masih sanggup lari-lari dan naik motor. Kalau dibilang
sehat, kok setiap pagi saya kaku-nyeri punggung, nggak kuat duduk atau berdiri
lama, cepat capek, kesemutan, dan sebagainya. Jadi, semoga dengan MRI segera
ketahuan duduk perkaranya.
Takut!
Eh tapi, membaca testimoni orang-orang yang pernah melakukan
MRI, saya jadi keder tingkat bidadari, nih! Katanya seram, super duper nggak
nyaman, bahkan seorang teman telah bersumpah nggak akan mau lagi disuruh masuk
tabung MRI. Haduh, Mak!
Namun, demi ketenangan jiwa yang selama ini selalu sibuk
bertanya-tanya *halah* saya menabahkan diri memenuhi jadwal MRI. Whatever it
will be, it will be. Toh dulu ketika opname setelah kecelakaan, saya juga
pernah masuk tabung CT Scan, dan selamat, tuh.
Jadi, here I am!
Jumat, 2 Oktober 2014, bertepatan dengan hari Arafah.
Ditemani suami tercintah dan si bungsu Haikal, saya berangkat ke RSUP dr.
Kariadi. Pukul 12.45 siang, saya sudah pakai kostum rumah sakit. Selama
menunggu giliran, asli jantung saya merosot sampai perut, menyebabkan perut
saya bereaksi abnormal. Mules-mules nerves gitu. Apalagi, suara mesin MRI itu
terdengar nyaring hingga ruang tunggu.
Saat itu, benak saya penuh bayangan, saya bakal sesak nggak
bisa nafas di dalam tabung itu. Bakal parno luar biasa karena tempatnya super
sempit. Lha wong di terowongan Sea World yang lega dan menakjubkan itu saja
saya nyaris kolaps karena takut (sampai sesak dan saya bertekad nggak akan mau
masuk situ lagi walau dibayar sejuta; entah kalau lima).
Wis, pokoknya saya bayangin yang jelek-jelek. Untung saya
masih eling. Saya mulai berdizikir. Astagfirullaah, subhanallaah
walhamdulillaah wa laa ila ha illaahu allaahu akbar. Dzikir dan dzikir ... saya
sadar, hanya Allah yang bisa menolong saya mengatasi keparnoan ini.
Ternyata, MRI Itu ...
Di situlah saya, menghampiri sebuah tabung besi raksasa
warna putih, dengan lubang seukuran badan manusia di tengahnya.
Saya berbaring di sliding bed, mengatur posisi senyaman
mungkin. Entah kenapa, saya ambil sikap bersedekap seperti sedang shalat. Kedua
telinga disumpal dengan sumbat telinga. Perawat dengan ramah menyiapkan sembari
menyemangati saya. “Nggak usah takut, rileks. Di dalam, oksigen banyak sekali
kok, sejuk, cuma memang berisik. Jangan kaget, dan jangan bergerak selama 20
menit, ya. Kalau betul-betul takut, tekan ini,” katanya sambil memberikan
sesuatu seperti pencetan alat tensi.
Dan dengan mengucap bismillaah, sliding bed meluncur masuk
ke dalam tabung MRI.
Ho ho ho, saya mencoba ‘menikmati’ setiap inci pemandangan
yang terpampang di atas saya. Jarak hidung saya dengan atap tabung hanya
sejengkal. Suasananya nyaman, adem, terang. Tapi, begitu mesin mulai bekerja,
masya Allah! Berisik luar bizaza! Segala macam suara bergantian terdengar,
sampai telinga saya sakiiit.
Belum lagi saya harus mempertahankan dua hal selama di dalam
sana. Pertama, jangan sampai saya bergerak; pundak dan tangan kanan saya sampai
kesemutan. Kedua, jangan sampai saya ketiduran! Serius. Saya tipe orang yang
gampang tidur; jadi, walau suara di dalam tabung MRI bisa bikin orang lain
sakit kepala, saya malah ngantuk. Nggak lucu kan kalau di layar monitor dokter
melihat pasiennya malah ngorok. Hehehe.
So, saya terus berdzikir dan berdzikir. Laa haula wa laa
quwwata illa billaah. Hanya Allah penolong saya.
Dan, taraaa! Akhirnya selesai! Suara-suara bising itu
hilang, saya diluncurkan keluar, perawat menepuk kaki saya sambil tersenyum.
Yes! Alhamdulillaah! Saya berhasil keluar tanpa menekan
tombol panik! Luar biasa, ya, kekuatan mengingat Allah SWT dalam segala hal.
Saya benar-benar telah membuktikan the power of dzikrullah.
I love you, Allah.
MRI: DO’s and DONT’s
- Carilah info sebanyak mungkin tentang prosedur
MRI. Tanya pada dokter atau perawat yang akan menangani. Makin banyak info,
makin jelas apa yang akan dihadapi. Makin tahu, harusnya makin siap, kan?
- Lepaskan semua yang berbahan logam dari tubuh,
termasuk kacamata dan bra. Jangan coba-coba ngumpetin hape karena berniat akan
selfie di dalam tabung MRI, ya. Semua bahan logam dilarang masuk area MRI,
karena cara kerja mesin MRI dengan medan magnet super kuat.
- Rileks, cari posisi ternyaman untuk berbaring,
tapi nggak boleh miring apalagi nungging.
- Berpikir positif, MRI untuk kebaikan pasien agar
penyebab keluhan dapat segera ditemukan. Berdoa, berdizikir, pokoknya berserah
pada Yang Maha Kuasa.
- Selama di dalam, jangan bergerak apalagi joget, karena
gerakan kecil bisa mengakibatkan proses dihentikan dan diulang. Makin serem,
kaaan?
- Atur nafas, anggap saja sedang mendengar konser
musik rock atau sedang berada di arena latihan pesawat tempur, hehehe.
- Jangan malu-malu menekan tombol panik, karena
itu hak pasien, hehehe.
2 komentar
wah, ikut deg2an bacanya.. :D trus gimana hsil MRI-nya mbak..? semoga semua baik2 aja yaa.. amin :)
BalasHapusAamiin, blm tau Mbak Ofi, baru Selasa insyaAllah mau sy ambil sekalian konsul. Pengennya segera jelas, nih. Makasih udah mampir yaa :)
BalasHapus