Hidup dengan Penyakit Jantung Koroner? (1)
November 23, 2016
(Disclaimer: artikel ini saya tulis sebelum saya mendapat diagnosa baru, yakni GERD dan bukan PJK. Namun jika Anda mengalami gejala seperti yang ditulis dalam artikel ini, tetap waspada. Sebaiknya segera periksa ke dokter atau UGD terlebih dahulu).
Siapa sangka, tak dinyana. Benar-benar bagai petir di siang bolong. Tiba-tiba, saya menjadi salah satu pasien penyakit jantung koroner (PJK). Hari itu, segalanya berubah drastis. Hari itu saya tahu, hidup saya tak akan sama lagi. Benarkah? Yuk, ikuti kisah saya.
Siapa sangka, tak dinyana. Benar-benar bagai petir di siang bolong. Tiba-tiba, saya menjadi salah satu pasien penyakit jantung koroner (PJK). Hari itu, segalanya berubah drastis. Hari itu saya tahu, hidup saya tak akan sama lagi. Benarkah? Yuk, ikuti kisah saya.
Serangan di Malam Hari
Sabtu malam, 1 Oktober 2016. Saya
ingin tidur cepat, setelah ikut acara tahlilan hari kedua wafatnya tetangga
sebelah rumah. Seperti biasa, saya tidur bertiga dengan suami dan si bungsu.
Entah berapa lama saya tidur,
saya nglilir, tapi masih terpejam. Saya merasakan tak nyaman di area leher dan
tengah dada. Seperti sesak, agak tercekik. Beberapa menit, saya tak tahan. Saya
bangun dan ke dapur untuk minum air putih hangat. Sesekali saya terbatuk. Karena
masih merasa sesak di dada, saya minum Laserin (karena saya kira saya terserang
batuk).
Namun, naluri berkata lain. Saya
merasa ada yang berbeda. Ini bukan batuk! Bukan pula maag yang kumat. Dada
tengah sampai pangkal leher, rasanya seperti dibebat dan diikat kuat. Saya
megap-megap sambil duduk. Jantung berdebar kencang, karena saya merasa cemas
luar biasa.
Suami saya bangunkan. Beliau
menawari mengeroki saya. Saya menggeleng. “Ke rumah sakit?” tawarnya. Saya
mengangguk. Akhirnya, tengah malam itu saya lari ke UGD sebuah RS swasta di
kota kami.
Saya masih bisa jalan masuk UGD.
Dokter dan perawat menanyai macam-macam. Dengan selang oksigen di hidung, saya
diperiksa. Paru-paru dan perut bagus. Dokter mengusulkan rekam jantung (EKG/elektrokardiografi).
Wuah, saya langsung mbrebes mili.
Berkaca-kaca. Saya sakit apa? Tetangga saya baru meninggal karena komplikasi
jantung dll, dan sekarang saya harus rekam jantung?
Sembari suster memasangi banyak
elektroda di dada saya, suami menepuk-nepuk menenangkan. “Nggak apa-apa,”
bisiknya. Tapi saya tahu, dia juga sedikit kaget.
Syukurlah, kata dokter jaga, hasil
EKG bagus. NORMAL. Mungkin saya hanya mau terserang ISPA. Nggak perlu opname. Saya diberi obat
asam lambung, obat batuk berdahak, dan obat penenang. Well, oke. Mari kita pulang ke rumah. Malam itu, berbekal hasil EKG
yang katanya normal, saya bisa tidur nyenyak.
Serangan Kedua
Empat hari kemudian, saya merasa
cukup sehat untuk rewang selamatan sang tetangga. Padahal mah cuma kebagian
ngupas telur rebus, sih. Hehehe. Lalu saya pulang untuk menjemur cucian. Lha,
kok, mendadak saya merasa nggliyeng, agak sesak lagi. Dengan cepat, dada terasa
semakin sesak, dan kepala-leher-wajah kesemutan. Whoa, saya kembali ketakutan!
Sorenya, saya diantar suami periksa
ke dokter spesialis penyakit dalam, dr Aris. Kondisi saat itu, masih seseg,
wajah sampai telapak tangan kesemutan. Dokter yang baik itu mencurigai ada
masalah dengan jantung. Apalagi, saya ada riwayat jantung koroner dari almarhum
Papah. “Tapi, bisa juga, sih, ini GERD,” katanya. Makanya supaya jelas, saya
disuruh cek darah profil lipid, rontgen thorax/dada, dan EKG ulang.
Berbekal arahan dr Aris, saya
bermaksud minta rujukan BPJS ke dokter keluarga untuk check up di faskes 2. Tapi oh tapi, karena kondisi umum saya segar
bugar (padahal mah saya masih eungap,
muka kesemutan, tapi kan nggak terlihat),
dokter keluarga nggak bisa kasih rujukan untuk cek segala rupa itu. Wislah,
saya periksa mandiri saja di RSUD setempat. Murah meriah. Hanya 216 ribu, dapat
semua (kalau di RS swasta atau di lab, bisa habis 700 ribuan), hehehe. *namanya
juga emak-emak, irit to the max :p
Dan, taraa…
Hasil cek darah, kolesterol total
di atas ambang normal, 220 dari 200. Lainnya normal. Pada rontgen dada,
terdapat gambaran bronchitis. Saya
sempat berpikir, ooh pantees sesak. Lalu, tibalah saat dr Aris membaca hasil
EKG. Beliau terdiam, kemudian menandai beberapa bagian di kertas EKG.
“Apa itu, Dok?”
“Ini gambaran iskemik.”
Saya melongo.
“Kondisi jantung yang kekurangan
suplai oksigen. Biasanya disebabkan oleh penyumbatan pembuluh darah di
jantung,” jelas dr Aris.
Oh. Saya speechless. Akhirnya saya dirujuk ke spesialis jantung dan pembuluh
darah di RSUP dr Kariadi Semarang.
Masih Muda Kena Koroner?
Ya. Pasien di klinik jantung RSUP
dr. Kariadi, mayoritas sudah berumur. Saya termasuk yang paling kinyis-kinyis
nan unyu :p
Dr Susi, dokter jantung yang saya
tuju, juga setuju. Saya seharusnya masih terlalu muda untuk kena PJK. Karena
biasanya, wanita yang masih mendapat haid teratur, jantungnya masih ‘aman’.
Sebab, ada hormon estrogen yang salah satu fungsinya untuk melindungi kesehatan
jantung. Namun, hasil EKG tak bisa bohong. Sang dokter geleng-geleng lihat EKG
saya. Ada indikasi PJK. :(
Akhirnya, saya dijadwal untuk USG
jantung (ekokardiografi). Hasilnya, kembali sang dokter berdecak. Ada bagian
otot jantung yang kerjanya abnormal, kurang kuat. Dugaan utama, ada
penyumbatan. Dokter Susi menyarankan untuk melakukan kateterisasi jantung (angiografi/PAC).
Tujuannya, melihat benarkah ada penyumbatan, di mana, dan seberapa parah. Dari
situ, dokter bisa menetukan treatment
yang tepat.
Saya, sebagai pasien yang sedang
galau suralaw, hanya bisa mengiyakan. Yah gimana nggak galau atuh … Saya diduga
menderita salah satu penyakit paling mematikan di muka bumi ini. Di saat yang
sama, saya harus ninggalin si bungsu yang sedang opname dan menunggu hasil lab
darah untuk menentukan diagnosa.
Ya Allah, ya Allah. Hanya
mengingat-Nya dan memohon pada yang Maha Penyayang yang bisa saya lakukan.
Baca lanjutannya, yaa.
10 komentar
Saat saya mau operasi bypass tahun lalu, katanya saya pasien perempuan termuda di RSHS yg melakukan bypass. Usia saya 42 tahun waktu itu. Sebenarnya sih ada pasien perempuan yang lebih muda usianya daripada saya, hanya saja mereka ngga mau melakukan operasi bypass. Ini saya ketahui setelah saya ngobrol2 dengan pasien lain kalau sedang kontrol.
BalasHapusYuk sayangi jantungmu.
Teh Dey, langkah yg teteh ambil adalah langkah luar biasa berani. Mencerminkan kepasrahan pada Allah SWT, masyaAllah. Saya belajar banyak dari teteh. Semoga sehat terus ya Teeeh :*
HapusNuhun dah mampir di blog ini. Nggak kena ramat lancah tadi? Hihi.
Subhanallah Allahu Akbar. Peluk mbak Lia
BalasHapusPeluuuk Mbak Dian. Matur nuwun sudah mampir, yaa. Sehat selalu, Mbak :)
HapusSyafakillah syifa'an 'ajilan... Mba Lia... *hug
BalasHapusAamiin aamiin, jazakillaah Mbak Arina. Makasih sudah mampir, yaa *peluuk
HapusMba, serem bacanyaa.. Itu kalo wajah semutan tanda2 jantung jg yaaa? Kyknya aku pernh alamin wajah kesemutan, tp abis itu ilang.. :( .. Aku termasuk jarang bgt olahraga sih orangnya.. Udah mau niatin lagi deh lbh rajin olahraga dan makan yg sehat..
BalasHapusSemoga mbaknya walo udh terdeteksi PJK tp ttp bisa beraktifitas biasa yaaa..
Mbak Fanny, terima kasih sudah berkenan mampir. Mbak, wajah yang kesemutan itu banyak kok penyebabnya. Bisa karena kurang vitamin juga. Kalau saya, kira-kira karena aliran darah pas sedang sesak berkurang, jadi kesemutan. Kalau memang sering terjadi, lebih baik ke dokter aja, Mbak. Semoga bukan sesuatu yang serius, yaa. Aamiin, terima kasih untuk doanya :)
HapusSemangat terus ya mba. Baca tulisan ini jadi ingat bapak saya yang juga kena jantung koroner. Insya allah akan terus membaik mba dengan terus berobat. Peluk
BalasHapusAamiin, insya Allah Mbak Yuni. Semoga ikhtiar kita menuju sehat mendapat ridho dan kemudahan ya, Mbak. Aamiin. Terima kasih sudah menyempatkan mampir, yaa *peluuuk
Hapus