Tragedi Baju Pengantin [dimuat di Femina, 2011]

Mei 30, 2012


             Aku benar-benar tidak dapat melupakan acara resepsi pernikahanku, lebih dari sebelas tahun yang lalu. Bukan saja karena itulah salah satu momen teristimawa dalam hidupku, tapi juga karena terjadinya insiden yang sempat membuat kami semua kalang kabut!
            Waktu itu, akad nikah dilakukan di rumah keluargaku di Banyubiru, sebuah kecamatan di Kabupaten Semarang, yang berjarak sekitar 40 kilometer dari kotamadya Semarang, ibukota Jawa Tengah. Besoknya, barulah kami menggelar syukuran atau resepsinya di sebuah gedung di kota Semarang. Maklum, kami warga baru di Banyubiru, setelah sebelumnya lama tinggal di Semarang. Jadi, dengan pertimbangan untuk mempermudah teman dan kerabat yang kami undang, diputuskan bahwa lebih baik acara resepsi dilaksanakan di Semarang saja.
            Hari H, pagi-pagi sekali, kami semua berangkat ke Semarang. Mulai dari kami sang pengantin, handai taulan dan sanak kerabat yang berdatangan dari Jakarta dan Cianjur, sampai para remaja pengapit pengantin dan tim perias, melaju dengan beberapa mobil. Alhamdulillah, perjalanan menuju Semarang lancar. Kami langsung transit di rumah seorang teman mengaji orang tuaku. Di situ, kami sarapan, lalu mulai mempersiapkan diri untuk ritual rias-merias.
            Setelah mas-mas dan mbak-mbak pengapit pengantin, pembawa payung, dan penerima tamu selesai didandani, sekarang giliran raja dan ratu sehari yang dipermak penampilannya. Tentu dengan tata cara pengantin adat Sunda, karena orang tuaku Sunda tulen. Aku pun memasrahkan diri pada si ibu perias, sembari berdoa semoga semuanya lancar, dan aku bisa tampil sesempurna mungkin di hari bahagiaku ini.
            Make up sudah oke, kini saatnya menyanggul rambut. Setelah menahan rasa sakit di kepala ketika rambutku disaak sana-sini, akhirnya, selesai juga acara rias-merias itu. Saatnya mengenakan kebaya. Kain, stagen, ikat sana, peniti sini. Kebaya yang agak kependekan,  melekat pas di tubuhku yang tinggi semampai. Giwang, gelang, cincin, selop, terpasang pada tempatnya. Kembang-kembang mayang dari melati segar nan wangi ditempelkan di rambutku. Selesai! Pengantin wanita siap berangkat menuju gedung resepsi!
            Aku melirik ke sebelahku. Suamiku juga sudah siap dengan riasannya. Meskipun agak sebal karena harus dibedaki dan sebagainya, tapi suamiku tampak bahagia, kok. Sekarang, tinggal pakai baju pengantinnya saja, dan kami siap menyongsong para tamu undangan.
            “Mana baju pengantin lakinya?”
            “Lho, bukannya di tas?”
            “ Nggak ada! Coba cari di tas yang satunya!”
“Nggak ada jugaaa!”
Mendadak panik! Semua tas, koper, kardus, dan tempat-tempat yang mencurigakan dibongkar ulang. Tetap nihil! Ya ampun, suasana yang tadinya cerah ceria, mendadak panas dan kalang kabut! Bagaimana tidak, beberapa menit menjelang berangkat, baju pengantin laki-lakinya tidak ada! Agaknya, tertinggal di rumah! Aduuh, bagaimana ini? Padahal, tidak ada baju cadangan. Masa’ harus pulang dulu, mengambil baju itu di rumah yang berjarak satu jam perjalananan (kalau tanpa macet)? Salah siapa ini? Pastinya sih tanggung jawab tim rias, kan? Tapi, tak ada gunanya mencari siapa yang salah. Yang penting, apa yang harus kami lakukan?
            Aku terduduk lemas. Tidak tahu harus bagaimana.
            ”Sudah! Biar aku cari tempat pernyewaan baju saja! Siapa tahu di dekat sini ada salon atau sanggar rias pengantin!” kata suamiku. Dia bergegas pergi, entah naik apa. Aku hanya bisa terdiam di kamar, berdoa semoga Allah memudahkan semuanya.
Detik. Menit. Entah berapa lama kami menunggu dalam gelisah dan cemas. Bagiku sih rasanya seperti seumur hidup. Pikiran dan hatiku sibuk. Bagaimana kalau tidak ada sanggar rias? Bagaimana kalau ada, tapi bajunya yang tidak ada? Atau tidak matching dengan kebaya warna keemasanku ini? Bagaimana kalau ada apa-apa di jalan? Bagaimana kalau tamu-tamu sudah berdatangan, lalu menjadi malas menunggu, dan semua bubar jalan? Haduuuh...
            Tiba-tiba, entah di menit ke berapa puluh, suamiku datang bak pahlawan. Di tangannya tergenggam sebuah kantong kresek yang, alhamdulillaah, berisi baju pengantin pria yang sangat matching dengan kebayaku! Tanpa ba bi bu, langsung dipakainya baju itu. Wajahnya yang bermandikan keringat kembali dibedaki sekenanya. Dan, beres! Waktunya berangkat!
            Sepanjang perjalanan menuju gedung tempat resepsi, suamiku menceritakan perjuangannya mencari baju tadi. Ternyata, dia harus jalan kaki dulu dari rumah transit yang terletak di atas bukit kecil. Sesampainya di jalan raya, naik angkot. Eh, sampai-sampai melewati gedung tampat resepsi kami, lagi! Dia sempat deg-degan, menyaksikan gedung sudah penuh dengan para tamu. Ketika akhirnya baju pengantin berhasil didapat, dia masih harus kembali naik angkot, dan kali ini menuju rumah transit dengan jalan yang menanjak terjal!
            Alhamdulillah, sesampainya di gedung, kelihatannya belum ada tamu yang melarikan diri pulang, meski sudah nyaris sejam menunggu rombongan pengantin. Begitu kami memasuki gedung, alunan degung nan merdu menyambut kami. Senyum sumringah para tamu, melegakan hati kami yang sempat nelangsa. Pokoknya, legaa!

You Might Also Like

2 komentar