MY FIRST TRIP, WAS MY LAST CHANCE

Mei 06, 2012

Selasa, 3 April 2012.

Sejatinya, hari itu adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-12. Biasanya, tahun-tahun sebelumnya, aku selalu mencoba membuat hari itu spesial. Paling tidak, berbeda. Entah dengan membuat nasi kuning untuk kami santap bersama, atau hanya sekedar woro-woro antaranggota keluarga kecil kami, bahwa hari itu kami semua 'berulang tahun'.

Pagi itu, aku membuka hari dengan menyapa suamiku tercinta, "Happy anniversary, ya, Yah. Semoga keluarga kita selalu dalam keberkahan...". Tiba-tiba, suamiku bilang, "Kalau Bunda mau ke Semarang sekarang, ya sudahlah, sana berangkat. Aku nggak apa-apa."

What? Aku kaget. Beneran, nih?
Memang, malam sebelumnya, aku berandai-andai, "Yah, mbok besok aku dibolehin nengok Papah, sendirian aja." Hmmm, aku telah meminta suatu hal yang selama ini agak mustahil untuk diwujudkan: pergi ke luar kota sendirian, tanpa suami dan anak-anak. Almost impossible. Nggak pernah aku pergi meninggalkan anak-anak, paling juga ke warung. Tapi, kali ini, aku meminta izin untuk pergi selama seharian, sendirian!

Memang, sejak pertengahan Februari, Papahku bolak-balik masuk rumah sakit dr. Kariadi Semarang. Keluhan lama yang tak kunjung membaik, pun setelah menjalani operasi bypass tepat seminggu setelah kelahiran nak ketigaku. Biasanya, kami menjenguk beliau sekeluarga, lengkap dengan segala keruwetan menjenguk orang sakit dengan mengajak seorang batita yang superaktif. Huh, boro-boro aku bisa intens bercakap dengan Mamah dan Papah, adanya juga cuma pindah momong si kecil Haikal. Setelah berkali-kali merasa kurang intensif dan kurang puas membersamai Papah, muncullah keinginan untuk bisa sekali saja aku pergi sendiri.

So, here it is!
Ujug-ujug, suamiku membolehkan! Dia dengan besar hati bersedia mengasuh anak-anak. Padahal hari itu dia harus mengajar di sekolah. Jadilah, nanti rencananya anak-anak akan diajak serta mengajar. Toh suamiku hanya mengajar satu jam saja hari itu. Oke, deal!

Tapiiiii...
Betapa malah aku yang dilanda keraguan besar saat hendak berangkat. Aduh, baru kali ini aku akan meninggalkan anak-anak. Nggak terbayang, bagaimana reaksi si kecil nanti? Akankah dia jadi trauma? REwelkah? Dan bla bla kecemasan khas emak-emak parno. Kalem tapi tegas, suamiku 'mengusir'ku, "Sudah, jangan dibolak-balik. Pergi aja, nggak apa-apa."

Hiks... Jadilah pagi itu tonggak sejarah buatku. Anak-anak belum bangun, dan aku sudah meniti jalan becek menerabas persawahan, menuju jalan raya, lalu menunggu bus, yang ternyata telat 30 menit. Begitu naik ke atas bus dan duduk, alamaaak, masygul sekali hatiku. Melihat pemandangan yang berlarian di luar kaca bus, aku sedih, nyaris menangis. Teringat si kecil yang biasanya antusias melihat-lihat segala macam saat kami bermobil bersama. Hhh... maafin Bunda, ya, ninggalin Adek...

Menuju Semarang dengan bus, adalah satu perjuangan tersendiri. Sudah belasan tahun aku nggak pernah pergi sendiri, apalagi naik bus. Akupun mulai cerewet, bertanya pada orang-orang, rute mana yang harus kuambil. Khawatir nyasar.

Alhasil, aku sampai di rumah sakit. Dengan nafas ngos-ngosan -setelah jalan kaki puluhan meter plus naik tangga ke lantai 3 - sampailah aku di depan kamar rawat Papah. Legaa, sekaligus merasa malu dan norak. Apalagi Papah dan Mamah menyambutku dengan cengiran bangga, seakan aku telah menang lomba kabur dari rumah.

"Ini baru awalnya," kata Papah waktu itu, "akan ada hari-hari lain kamu bisa begini lagi. Ternyata bisa, kan, berbagi tugas, sesekali ninggalin anak-anak. Hebat!" Begitu kira-kira katanya.

Hari itu, dari jam 9 pagi sampai jam setengah 3 sore, aku berada di kamar Papah. Hanya terseling satu jam teng, pergi ke poli kantor untuk perpanjang surat rawat inap. Aku menghabiskan waktu dengan ngobrol, mendengarkan Papah, menyemangati Papah, menceritakan cucu-cucunya, mengabarkan bahwa cerita anakku baru saja dimuat di majalah. Papah juga terlihat lebih sehat, mau makan, minum, meski selang sone itu masih terpasang di hidungnya. Aku juga disuruh Mamah mewudhukan Papah dengan waslap, untuk sholat Dzuhur.

"Papah kepengen pulang, ya?" tanyaku.
"Papah tuh pengennya sembuh!" tegas Papah. "Tapi, semua kan atas kuasa Allah. Mau sakit TB kek, kanker kek, itu kuasa Allah. Kita cuma berupaya. Papah sudah ikhlas, Teh. Ikhlaas..."

Aku sempat merangkul Papah. Menggenggami telapak tangannya. Mengusap-usap rambut putihnya yang belum sempat dirapikan. Berlutut di samping tempat tidurnya. Mengamati betapa berbedanya beliau, dengan bagaimana beliau selama ini. Papah begitu ringkih, tapi juga tegar. Aku kadang nggak percaya, benarkah ini Papah? Yang dulu sangat energik dan banyak maunya? Bisa sakit begini, ya?

Ah, Papah juga masih ingat, beberapa hari lagi sulungnya ini berulang tahun. Bahkan sempat menghitung umurku segala. Aku juga mengingatkan Papah, hari itu 12 tahun lalu, Papah menjadi waliku, langsung dengan tangannya sendiri, menikahkan aku dengan suamiku.Aku minta didoakan.

Oya, Papah juga menyuruh Mamah membelikan siomay langganannya untuk oleh-oleh buat para cucu.Juga disuruhnya aku mebawa buah-buahan yang ada di kulkas. Ah, aki yang baik hati...

Jam 2 lewat, aku pamit pulang. Papah masih sempat mencandaiku, menyuruhku menginap di sana. Ah, how come I can, Papah? Anakku bisa kejer-kejer nanti. Jadi, pamit pulanglah aku. Papah mengingatkan lagi rute tercepat yang bisa kuambil.

Selasa, 3 April 2012. Jelang jam setengah 3 sore. Was my very last chance to be with Papah. Siapa yang sangka, besoknya, Kamis 4 April 2012, sekitar beberapa menit sebelum jam 4 sore, Papah pulang. Kembali ke sisi Sang Pemilik Kehidupan.

Papah, mungkin saat itu harusnya aku menangis,
Memanggilmu, meratapi kepergianmu
Tapi, aku tidak menangis dengan cara yang miris,
Aku takut, tangisku akan menyusahkanmu.

Jadi Papah, aku mengantarmu ke rumah terakhirmu,
Hanya dengan doa dan harapan
Semoga segala kebaikan dan keberkahan atasmu
Semoga Allah senantiasa menyayangimu


Tapi, Papah, dengan tiadanya tangisku 
Hatiku terasa pilu setiap waktu
Setiap kali terkenang dirimu
Aku ingin menangis dan menangis selalu


Papah, maaf kadang aku masih menangis
Bukan tak ikhlas, tak rela
Hanya terkenang dan teringat
Betapa Papah tak ada lagi bersama kami
Walau begitu, cinta dan hormatku masih ada, Papah


*Papah, aku rindu...

------
Rumah tepi rawa pening, jelang tengah malam, 5 Mei 2012



You Might Also Like

8 komentar

  1. ikut mendung baca ini mbak.. tabah ya.
    nikmat punya ortu berasa jika mereka sdh tiada. smoga aku bisa jadi anak yang lebih bersyukur selagi ortu masih lengkap. dan smoga mbak lia menjadi anak yang tabah dan tetep semangat ya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. aamiin.. iya lho bint, sekarang tinggal mamah, semoga aku bisa tetap berbakti & ga akan kehilangan momen, walau aku jauh. btw, sori dah mendatangkan mendung yaa

      Hapus
  2. wah, sama mba denganku. Aku jg udah mewek duluan klo mau ninggalin anak-anak. Dulu aku juga gak menunggui almarhumah mamahku krn harus ngantor. Sampe di kantor, dapat telepon klo mamah meninggal.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf ya Ela, barui dibalas. Rempong [pisan euy sagala-galana. Yah, semoga kita tetap jadi anak yg berbaklti sampai kapan pun, dan senantiasa mendoakan ortu kita, aamiin :)

      Hapus
  3. Innalillahiwa'innailairojiuun
    Turut bela sungkawa ya mabk
    semoga beliau mendapat tempat yang baik disisi Allah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin.. terima kasih kunjungan dan doanya mbak :)

      Hapus
  4. Mak Lia... turut berduka cita ya, tapi untung sempet ketemu sama Papahnya sesaat sebelum pergi, yang sabar ya mak...

    BalasHapus
  5. Meleleh saya Mak.. Bersyukur sempat habiskan waktu bersama papah.. Ahh betapa beruntungnya dikau Mak merasakan kasih ayah hingga liat cucunya lahir.. Saya di usia 6 th dah ditinggal pergi,. :)

    BalasHapus